Akhir-akhir ini jagat maya cukup ramai dengan ocehan dan teriakan dari netizen. Hal ini bersumber dari sikap Menteri Agama (Menag) RI yang mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang aturan pengeras suara (loudspeaker) masjid untuk azan.
Dari aturan tersebut saja sudah cukup riuh warganet dengan berbagai sudut pandang penilaiannya. Ditambah lagi dengan pernyataannya kyang "katanya" menyamakan azan dengan suara anjing. Waduh makin parah ini mah. Bisa demo berjilid-jilid, eh.
Seperti biasa awalnya saya bodo amat dan 'yaweslah' kalau memang itu hasilnya bagus. Toh yang diatur cuma intensitas suaranya saja. Dan gak terlalu berminat membahasnya. Namun, semakin kesini di timeline kok makin banyak aja yang share. Apalagi dengan narasi-narasi yang cukup provokatif lagi. Haduhh...
Jadi okelah, saya coba scroll-scroll IG, FB, Twitter, Google dan YT buat riset (cielah bahasane wkwk) tentang apa sih yang sedang viral. Dan sebenernya apa si yang disampaikan si Menag sampek rame amat ini dunia ghoib.
DISCLAIMER dulu nih sebelumnya, bahwa tulisan ini :
1. Opini pribadi dan berdasarkan sudut pandang penulis,
2. Penulis tidak memihak suatu kubu, baik kubu menag maupun netijen. Karena keduanya sama-sama memiliki kesalahan (menurut saya) dan keduanya memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
3. Penulis mengedepankan sikap moderat, damai, dan persatuan dalam mengambil pendapat.
4. Sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat dan cara pandang. Manusiawi, wajar, dan dimaklumi.
5. Opini ini sangat bisa dibantah, asalkan dengan dasar yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai UU.
Memahami Dasar Aturan Menag dalam Surat Edarannya
Sebelum mengambil pendapat, ada baiknya kita ketahui dulu nih, apa sih yang jadi alasan kok sapaia diterbitkan aturan ini.
Menag sih berpendapat bahwa aturan ini dibuat untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antar masyarakat. Hmm.. oke, dari tujuan baik ya dan mungkin bisa dipastikan sebagian besar setuju dengan tujuan ini.
Lalu, apa sih yang diatur dalam SE tersebut?
SE no. 05 Tahun 2022 ini mengatur penggunaan loudspeaker untuk masjid dan musala. Yang mana salah satunya ialah mengatu tingkat kebisingan atau intensitas suara yang dikeluarkan barang elektronik tersebut dari masjid atau musala.
Lalu bagaimana menyikapi aturan ini?
Menyikapi SE Menag tentang Aturan Suara di Masjid dan Musala
Kalau menurut saya pribadi, aturan ini ada baiknya dilakukan. Yah, walau sebenarnya aturan ini sudah ada sejak 1978. Namun pada prakteknya banyak yang acuh dan tidak melakukannya sesuai aturan yang diintruksikan kemenag dengan nomor KEP/D/101/1978 itu. Lagian aturan ini tidak memberi sanksi bagi pelanggarnya, jadi ya gak salah kalau dilanggar wong gak di hukum ae wkwkw.
Apa pentingnya ?
Gini, memang azan itu suatu suara yang indah dan juga wujud panggilan Tuhan kepada hamba-Nya untuk segera berangkat menyembah-Nya. Saya setuju itu, tapi fokus saya bukan pada azannya itu sendiri, melainkan ke kebisingannya. tolong pahami ke KEBISINGAN bukan ke AZANnya ya.
Oh jadi menurutmu azan itu suatu yang bising?
Lah, emangnya bising menurut Anda tu apa? Bising itu suara yang sangat keras dan membuat pekak suara, itu kata KBBI sih. Pertanyaan balik, suara yang dikeluarkan speaker ini keras atau tidak?
Telinga manusia memiliki batas normal dalam menerima suara. Mulai dari 25 dB pada kondisi bicara normal (atau lebih rendah) hingga batasnya 80 dB. pada range itu telinga masih bisa dikatakan dalam garis normal dan gak akan mendapat suatu masalah jikalau harus didengarkan dalam 24 jam nonstop. Jadi saya rasa aturran speaker musti maksimal di angka 100 dB. mungkin itu suatu yang sudah baik, karena butuh suara ekstra untuk menjangkau tempat lebih luas.
Yang jadi perbincangan pada aturan saat ini adalah tingkat kebisingannya yang dibatasi maksimal 100 desibel (dB) saja. Banyak netijen yang komentar bahwa ini sangat kecil dan gak yakin bisa menjangkau tempat yang jauh. Nah ini yang juga jadi petanyaanku "Apakah Menag sudah mengkaji dan menguji, dengan batas 100 dB seberapa luas dan jauh jangkauan suara yang dihasilkan speaker itu?"
Meski saya belum mencoba menghitung secara pasti (karena butuh alat dan saya belum punya) namun saya mendapatkan sebuah gambaran tentang volume 100 dB tersebut. Gambaran tentang kerasnya suara ini pernah dimuat di website Universitas Purdue (Universitas di Indiana, Amerika Serikat)
cek https://www.chem.purdue.edu/chemsafety/Training/PPETrain/dblevels.htm
Dalam laporan Noise Comparisons tersebut diketahui 100 dB itu setara dengan :
- Suara mesin jet yang take off diketinggian 305 meter, ~100 dB
- Suara mesin Boeing 737 sebelum landing / ketinggian 6080 kaki (1,8 KM) ~97 dB
- Suara helikopter Bell J-2A (ketinggian 30 meter)~100 dB
Ya kurang lebih segitu suaranya dengan kebisingan 100 dB. Mungkin suara itu sudah cukup keras menjangkau satu RT atau RW kali ya.
Jadi saya rasa tidak terlalu bermasalah dengan aturan 100 dB dari menag ini. entahlah apa yang jadi dassar orang-orang kontra dengan hal ini bahkan ada yang bilang ini sama aja dengan "MERENDAHKAN DAKWAH AGAMA" atau "MENGECILKAN SUARA SYIAR" ... entahlah.
Wajar Dong, Mayoritas Islam Jadi Banyak Masjid di Mana-mana
Yups, sangat wajar. Seperti halnya di Bali yang mayoritas Hindhu banyak vihara di mana-mana. dan ini sangat wajar.
Tapi apa ini jadi pembenaran dari penolakan aturan?? Hmm.. saya rasa kurang tepat. Justru karena tempat ibadah ini ada di mana-mana , maka untuk memberitahu umat sudah masuk waktu sholat akan sangat dipermudah bukan? Karena dari satu masjid akan bisa secara estafet memberitahunya. Yakni dengan Azan yang bersambung-sambung.
Seperti dikampung saya misalnya. Ada 3 musala dan satu masjid di satu kampung. ketika waktu azan, semua bersuara secara bersamaan. Dan itu sudah menjangkau satu kampung, bahkan lebih sampai ke kampung-kampung tetangga juga kedengeran. Sedangkan di kampung tetangga juga ada beberapa tempat yang juga bersuara juga, jadi kebayangkan gimana riweuhnya.
Kita mungkin gak masalah soalnya udah terbiasa dan tau itu suatu kemulyaan, juga itu bagian dari kita (muslim). Tapi bagi yang non-muslim? alah selama ini non-muslim juga gak masalah, gak protes, dan gak terganggu. Secara kasat mata mungkin iya, tapi bagaimana perasaannya? kita tidak ada yang tahu. Mereka gak protes bukan berarti fine-fine aja, ada yang diam karena takut (mengingat minoritas tak selalu digubris 'katanya'), bahkan diam karena menghormati.
Nah dengan aturan ini maka diharapkan suara masjid dan mushala tadi bisa setara semua dan tidak begitu menganggu orang lain. Lagian aturan ini juga bisa jadi tameng apabila suatu saat ada yang protes, tinggal tunjukan bahwa suara sudah sesuai aturan kok. jadi aman aja.
Menyamakan Azan dengan Anjing, gak beradab!
Ini nih yang paling ramai dari perihal SE ini. Bahkan lebih ramai dari SE itu sendiri. Yakni statement menteri yang konon menyamakan azan dengan anjing. Walah kok beraninya. Anda itu gus loh!
Gak gegabah dong, saya cari video fullnya. Tapi gak tau video aslinya yang mana soalnya semua sudah ditindas dengan frame dan dipotong-potong. Namun ada dari kanal BeritaSatu yang memberikan video statemen lengkapnya, meski di awal di tambahkan presenter. https://www.youtube.com/watch?v=n1xnI7JcqmM
Dalam video itu sebenarnya sudah jelas semua. Tentang tujuan, trus apa yang di atur dan lainnya. Namun fokusnya netijen adalah pada statement terakhir yang dianggap menyamakan dengan anjing.
Berdasarkan pemahaman saya, menag tidak sama sekali membandingkan azan dengan anjing. apalagi menyamakan, gak ada kata "ibaratnya azan tuh anjing dan mengonggong bersama" gak ada.
Yang saya tangkap dan cerna dari pernyataannya adalah mencontohkan / mensemisalkan dengan objek anjing. Dan yang dicontohkan itu bukan azannya, tapi keriweuhannya atau kebisingannya. dia bilang "kita bayangkan lagi, semisal..." artinya dia ngajak kita mengubah ojeknya. Objeknya apa, azan? Bukan. tapi speakernya, dan speaker ini ditranformasikan menjadi objek anjing. Sekali lagi bukan azannya, tapi speakernya.
atau bisa diolah dengan kata lain gini. Misalkan saya ada di rumah, tetangga kanan kiri depan belakang penguasaha meuble semua, dan di waktu bersamaan mereka menghaluskan permukaan kayu semua. Suara mesinnya bunyi bareng. Betapa bisingnya. dan pasti terganggu.
Mungkin itu kalau pencontohan digunakan dalam objek lain. Nah tapi kenapa harus anjing sebagai contoh? padahal tahu anjing hewan paling najis dan paling menjijikkan (katanya).
Saya melihat itu sebagai suatu hal yang khilaf dan spontan. Mengambil contoh secara spontan agar mudah diterima masyarakat. Namanya spontan yawes ngambil contoh apa bae yang di sekitarnya. Dan hal-hal yang khilaf seperti ini seharusnya masuk pemakluman, menurutku sih. Jadi gak terlalu diperbesar-besarkan.
Ah pasti itu ada kesengajaan, menag ini sering buat kontroversi yang dianggap gak pro umat? Hei,, mengapa tergesa-gesa mengambil kesimpulan itu? Mengapa gak tabayun dulu. Seakan-akan Anda tahu isi hati manusi berwujud Yaqut ini. Bagaimana jika itu salah? bukankah akan menjadi fitnah? Katanya fitnah itu dosanya lebih besar dari pembunuhan? Toh sudah diklarifikasi oleh Menag sendiri dan juga ole Timsusnya juga sudah klarifikasi.
Berarti Menag Sudah Betul?
Seperti saya kata di disclaimer. Setiap pihak punya salah dan pembenaran masing-masing. Termasuk menag. Menag juga memiliki beberapa kesalahan (menurut saya) dan mungkin juga perlu dilakukan permintaan maaf.
Pertama, Menag mengeluarkan edaran secara tiba-tiba. Padahal tidak ada urgensi yang memaksa untuk segera di sahkan atau diterbitkan. Alangkah baiknya jika aturan-aturan yang mempartisipassikan orang banyak (umat), sebainya didiskusikan secara terbuka dahulu, tampung semua aspirasi dari berbagai pihak (temasuk pihak agama lain). Baru setelahnya dieksekusi dan diterbitkan.
Kedua, Menag itu Menteri Agama, yang mana ia mengatur seluruh agama yang ada. Namun pada aturan ini spesifik pada islam saja. Padahal karena statusnya sebagai menteri agama dan hanya mengatur suatu agama saja ini bisa memicu konflik kecemburuan sosial. Pasti akan ada yang nyeloteh "Kenapa islam saja yang diginiin, agama lain nggak" atau suara kecemburuan lainnya.
Jikalau memang hendak mengatur pengeras suara, alangkah baiknya jika ditujukan secara general. Misal dengan judul "Aturan Pengeras Suara Tempat Ibadah" yang mungkin lebih general dan dapat diberlakukan dimana saja, bukan spesifik ke suatu golongan tertentu, meski kita tahu di lapangan yang paling keras speakernya adalah islam.
Ketiga, jika ada aturan maka mesti ada sanksi. Percuma dong aturan dibuat jika tidak ada sanksi bagi pelanggar aturan? lalu apa bedanya dengan Instruksi Bimas Islam Kemenag bernomor KEP/D/101/1978 di tahun '78 silam. Hanya jadi peluru hampa, apalagi jika implementasi tidak sesuai dan tanpa kawalan yang benar.
Keempat, dengan aturan yang diedarkan ini, kita sudah lihat yang terjadi. Berbagai kegaduhan terjadi di masyarakat. Bukan hanya dunia maya, bahkan di dunia nyata mulai ramai poster dan banner yang menolak. ini juga imbas dari pengambilan keputusan yang 'tergesa-gesa' dan edukasi/ssialisasi yang kurang di masyarakat.
Maka saran saya :
- Menarik keputusan SE no.05 tahun 2022 dan melakukan pengkajian serta pengujian ulang, akan lebih bagus jika bertransparan hasil kajian dan ujinya.
- Mengumpulkan asspirasi dari berbagai pihak dan masyarakat secara merata, bukan hanya sample survei yang hanya segelintir orang. Pengumpulan asspirasi bisa dalam bentuk survei atau form isian online pada situs Kemenag. Sehingga berbagai lini masyarakat bisa mencurahkan apa yang ingin disampaikan.
- Kemenag melakukan klarifikasi ulang, edukasi, sosialisasi dan permohonan maaf, karena bagaimanapun imbas dari keputusan tersebut sudah menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Terlebih terkait ucapannya yang menimbulkan berbagi persepsi dan miskomunikasi yang menjurus ke SARA.
Kesimpulan
Kesimpulannya, yang pertama aturan speaker 100 dB itu sudah cukup keras. Jadi tinggal membuktikan berapa jauh dan luas jangkauannya. Lalu terkait isu azzan yang disamakan dengan anjing sebenarnya bisa dikupas dan dicerna secara aman. Namun beredarnya video yang di cut dan di edit membuat kegaduhan semakin memanas. Maka diperlukan kepala dingin dan sedikit waktu lebih panjang untuk memahami lebih detail yang disampaikan.
Yang pasti, selalu saring sebelum sharing karena itu adalah wujud dari smart nya manusia berteknologi. Jangan cuma pakai smartphone, tapi musti diimbangi dengan penggunaan smartbrain. Bijaklah dalam mengambil tindakan, termasuk komentar, karena sekecil apapun akan dimintai pertanggung jawaban.
DISCLAIMER ulang ya, takutnya lupa.. bahwa tulisan ini :
1. Opini pribadi dan berdasarkan sudut pandang penulis,
2. Penulis tidak memihak suatu kubu, baik kubu menag maupun netijen. Karena keduanya sama-sama memiliki kesalahan (menurut saya) dan keduanya memiliki pembenaran sendiri-sendiri.
3. Penulis mengedepankan sikap moderat, damai, dan persatuan dalam mengambil pendapat.
4. Sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat dan cara pandang. Manusiawi, wajar, dan dimaklumi.
5. Opini ini sangat bisa dibantah, asalkan dengan dasar yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sesuai UU.
Posting Komentar
Posting Komentar